Divestasi Freeport Lunas dan Tiga Hal Yang Perlu Diketahui
JAKARTA Srikandi Indonesia - Pemerintah Indonesia menyatakan secara resmi telah menguasai saham mayoritas perusahaan emas yang beroperasi di Mimika, Papua, PT Freeport Indonesia.
Pemerintah melalui perusahaan pelat merah, PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum, kini memegang 51,23% saham Freeport. Saham itu ditebus dengan harga US$3,85 miliar atau sekitar Rp56,1 triliun.
Porsi saham Freeport itu merupakan yang terbesar yang pernah dipegang pemerintah.
"Ini adalah momen yang bersejarah setelah Freeport beroperasi di Indonesia sejak 1973," kata Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (21/12).
Setelah pelunasan ini, saham mayoritas itu akan dibagi dua. Inalum akan memegang 41,2% dan 10% menjadi hak pemerintah daerah Papua.
Pengelolaan saham Papua itu akan dikerjakan PT Indonesia Papua Metal dan Mineral. Perusahaan itu dikuasai Inalum sebesar 60%, dimiliki secara minoritas oleh Pemda Papua.
Dari mana dana pembelian saham Freeport?
Sejak pemerintah berniat membeli mayoritas saham Freeport tahun 2017, sumber dana tidak pernah secara terbuka dipublikasikan.
Dalam sejumlah kesempatan, Direktur Utama Inalum, Budi Gunadi Sadikin, menyebut 11 bank bersedia mendanai transaksi itu. Namun Budi tidak merinci nama-nama lembaga keuangan itu.
Mengutip Detikcom, Inalum bersiasat dengan menerbitkan surat utang sebesar US$4 miliar.
Sejumlah bank yang menjadi penjamin obligasi itu antara lain BNP Paribas, Citigroup, MUFG, Maybank, CIMB, dan Standard Chartered.
Berdasarkan catatan, harga saham mayoritas yang dibayar Inalum lebih rendah daripada tawaran pertama Freeport, sebesar US$12,1 miliar.
Adapun, Inalum membayar saham mayoritas itu kepada Freeport McMoRan Inc dan perusahaan tambang asal Inggris, Rio Tinto.
Ketika mengalami kesulitan modal tahun 1996, Freeport menggandeng Rio Tinto yang berbasis di London.
Apa yang terjadi setelah pelunasan ini?
Pengalihan saham mayoritas Freeport terjadi bersamaan dengan penerbitan izin usaha pertambangan khusus operasi produksi untuk Freeport.
Izin itu menggantikan kontrak karya Freeport yang akan habis tahun 2021 setelah diterbitkan pada 1967 dan diperbaharui tahun 1991.
Izin pertambangan khusus Freeport ini akan berlaku sampai 2041. Selama periode itu, pemerintah wajib memberikan kepastian hukum serta jaminan fiskal untuk Freeport.
Di sisi lain, dalam lima tahun ke depan Freeport harus sudah membangun pabrik pengolahan dan pemurnian emas (smelter).
Sebelumnya Menteri BUMN Rini Soemarno berharap smelter Freeport akan dibangun di Papua. Ia ingin pabrik itu akan berdiri di dekat sungai agar listrik diproduksi dari tenaga air.
Merujuk UU 4/2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara, pemegang kontrak karya tidak boleh mengekspor hasil tambang jika tak memberi nilai tambah terhadap produk itu.
Artinya, setiap perusahaan tambang termasuk Freeport wajib memiliki smelter di Indonesia. Penjualan produk mentah hasil tambang di dalam negeri dikecualikan dari regulasi itu.
Terkait smelter, Direktur Utama PT Freeport Indonesia, Tony Wenas, menyatakan komitmennya.
"Itu akan kita bangun dalam waktu lima tahun, akan segera kita tentukan di mana. Ini juga harapan pemerintah untuk memberikan nilai tambah," ujarnya.
Freeport masih berutang
Meksi pengalihan saham mayoritas selesai seiring pelunasan oleh PT Inalum, Freeport tetap diwajibkan membayar denda yang dijatuhkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Freeport harus membayar Rp460 miliar karena menggunakan hutan lindung tanpa izin dari pemerintah. Denda itu wajib dilunasi dalam dua tahun ke depan.
Berdasarkan data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), limbah yang dihasilkan Freeport selama ini ternyata merusak ekosistem. Nilai kerusakan itu ditaksir Rp185 triliun.
Menteri Lingkungna Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, menyebut pihaknya akan segera mengkaji lebih lanjut dugaan kerusakan lingkungan tersebut.
Tidak ada komentar